Sabtu, 25 Agustus 2012

ASAL USUL SUKU BUGIS


Bugis merupakan kelompok etnik yang berasal dari wilayah Sulawesi Selatan. Pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 untuk menjadi tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, ada sekitar enam juta jiwa populasi orang Bugis di Indonesia. Kini orang-orang Bugis tidak hanya bermukim di Sulawesi Selatan saja namun telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia, bahkan banyak diantara mereka yang merantau ke mancanegara.
SEJARAH
Awal Mula
Suku Bugis tergolong kedalam suku-suku Melayu Deutero yang masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan.
Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama Kerajaan Cina yang terdapat di Pammana (kabupaten Wajo saat ini, yang dimaksud Cina disini adalah nama sebuah daerah di Sulsel, bukan negara Cina) yaitu La Sattumpugi. Rakyat La Sattumpugi menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai.  Ia bersaudara dengan Batara Lattu yang merupakan ayah dari Sawerigading. Sawerigading menikah dengan We Cudai dan memiliki beberapa anak.  Salah satu anak mereka adalah La Galigo, seorang pengarang sastra terbesar di dunia yang menghasilkan karya  berisi sekitar 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) merupakan kisah tradisi masyarakat Bugis yang tertuang didalam karya sastra I La Galigo. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwu, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain yang ada di Sulawesi, seperti Buton.
Perkembangan
Seiring waktu, komunitas Bugis berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Mereka berhasil mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik yang ada adalah Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Proses perkawinan antar kerajaan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.

Alfabet Bugis
Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama-sama dengan kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (yang kelak menjadi bagian dari Soppeng) dan Siang (sebuah daerah di Pangkajene Kepulauan).
Saat ini suku Bugis di Sulawesi Selatan tersebar di beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, dan Barru. Daerah perbatasan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, dan Pangkajene Kepulauan. Daerah perbatasan antara Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
MASA KERAJAAN

PetaSulawesi Selatan
Kerajaan Bone
Pada suatu waktu terjadi kekacauan di Bone selama tujuh generasi, kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di daerah Bone melantik si Manurungnge ri Matajang menjadi raja mereka kemudian memberinya gelar Arumpone.   Ketujuh raja tersebut kemudian menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah Ade’ Pitue. Manurungnge ri Matajang juga dikenal dengan nama Mata Silompoe.
Ade’ Pitue sendiri terdiri dari MatoaTa, Matoa Tibojong, Matoa Tanete Riattang, Matoa Tanete Riawang, Matoa Macege, Matoa Ponceng. Istilah Matoa kemudian berubah menjadi Arung.
Setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yang bernama La Ummasa’ Petta Panre Bessie, kemudian dilanjutkan oleh kemenakan La Ummasa’ yaitu anak dari adiknya yang menikahi raja Palakka dan kemudian melahirkan La Saliyu Kerrempelua. Pada masa kepemimpinan Arumpone yang ketiga ini, Bone aktif secara besar-besaran memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat.
Kerajaan Gowa
Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Gowa kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini (Gowa dan Tallo) akhirnya kembali menyatu menjadi satu kerajaan yaitu Gowa.
Kerajaan Soppeng
Pada suatu masa ketika terjadi kekacauan di Soppeng, muncul dua orang To Manurung. Yang pertama adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. Yang kedua adalah seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang kemudian memerintah Soppeng ri Lau. Pada akhirnya kedua kerajaan kembar tersebut menyatu menjadi Kerajaaan Soppeng.
Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune yang datang dari berbagai arah, yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng. Komune tersebut dipimpin oleh seseorang yang memiliki kemampuan supranatural bergelar Puangnge Ri Lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli dan dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural.
Beberapa lama setelah itu, datanglah seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) bernama Lapaukke yang kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Namun setelah lima generasi, kerajaan ini runtuh. Kerajaan Cinnotabi pernah dipimpin oleh: La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. Setelah itu, kedua putra Arung Cinnotabi IV menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V, mereka adalah La Tenribali dan La Tenritippe.
Setelah runtuhnya kerajaan Cinnotabi dimasa kepemimpinan Arung Cinnotabi V, sisa-sisa pejabat kerajaan dan rakyatnya bersepakat untuk memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. Raja baru tersebut bergelar bergelar Batara Wajo. Secara berturut-turut kerajaan Wajo dipimpin oleh La Tenribali Batara Wajo I (bekas arung Cinnotabi V), kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III.
Pada masa kepemimpinan La Pateddungi Batara Wajo III, krisis terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan Batara Wajo III terbunuh. Kekosongan kekuasaan dimasa itu menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. Setelah lahirnya perjanjian tersebut, gelar raja Wajo berubah dariBatara Wajo menjadi Arung Matowa Wajo.  Hal ini terus berlanjut sampai pada berakhirnya masa kerajaan yaitu disaat Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar